Cerpen

Pijar-Pijar Cinta

MEI 2008, CERITA DEVINA TENTANG PIJAR

“Pijar!”

Lelaki yang disebut namanya itu menoleh ketika didengarnya suara perempuan memanggil namanya. Perempuan berusia sekitar 19 tahun itu berlari-lari kecil menghampiri Pijar yang saat itu sedang bergegas pulang ke pondokannya.

“Sudah jam lima sore, kok kamu masih di kampus?” tanya Pijar.

“Aku sengaja nungguin kamu selesai bimbingan skripsi.” Devina menghentikan perkataannya sejenak dan mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. “Aku sudah selesai isi buku ini kemarin. Sekarang giliran kamu.”

Pijar menerima buku dari Devina yang sebenarnya merupakan buku harian mereka berdua. “Besok aku kembalikan ke kamu setelah aku isi. Sekarang aku mau pulang.”

“Boleh aku ikut ke kosmu? Sejak kita pacaran, aku belum pernah ke sana,” kata Devina, berseri-seri.

Anggukan Pijar berarti segalanya untuk Devina. Selama tiga bulan berpacaran dengan Pijar, Devina merasa belum cukup mengenal Pijar yang baginya serba misterius itu. Mungkin beginilah rasanya berpacaran dengan orang yang lebih tua empat tahun. Mungkin ini caranya pria dewasa mencintai perempuan, pikir Devina.

Pijar menyukai Devina karena yang disebut belakangan adalah perempuan yang cantik, enerjik, ceria, dan berpenampilan menarik. Tidak ada pria yang akan menolak untuk bersama Devina. Tapi di balik itu semua, Devina masih seorang gadis yang berusaha menjadi perempuan dewasa. Ia masih rapuh.

Mereka berdua sampai di kamar pondokan Pijar setelah berjalan kaki lima belas menit dari kampus. Takjub. Begitulah ekspresi wajah Devina saat masuk ke kamar Pijar.Dinding kamarnya dipenuhi poster tokoh-tokoh yang mungkin ternama namun tak diketahui Devina. Hugo Chavez, Fidel Castro, Evo Morales, Mahmoud Ahmadinejad, dan lain sebagainya, begitulah sosok-sosok yang tergambar di poster. Tak satu pun sosok di poster-poster itu dikenal Devina, kecuali Bon Jovi.

Puas memandangi poster-poster, mata Devina beranjak ke rak buku yang memenuhi sepertiga ruangan kamar Pijar. Bukan hanya buku kuliah yang terpajang di sana, kebanyakan buku-buku sejarah, sosialisme, politik, dan novel-novel lama. Dalam hal buku, musik, dan tokoh favorit, Devina menyadari dirinya memiliki minat yang jauh berbeda dengan Pijar.

Dari deretan buku tersebut mencuat sebuah buku bersampul kulit sintetis warna hitam, sepertinya baru saja dikembalikan ke tempatnya. Buku itu tak memiliki judul. Devina yakin buku itu adalah catatan pribadi Pijar. Haus karena rasa penasaran, ingin rasanya Devina membuka buku itu dan mencari tahu isi hati Pijar tentangnya selama ini. Jika itu memang benar buku harian, seharusnya nama Devina akan disebut-sebut di dalamnya.

“Ini buku apa?” tanya Devina.

Pijar yang sedari tadi sibuk menyusun daftar lagu di Winamp mengerjap saat Devina membawa buku rahasianya di depan hidungnya. “Itu buku harianku.”

Wajah Devina terlihat makin berseri-seri. “Aku buka, boleh ya? Aku mau baca.”

“Lebih baik jangan dibaca kalau kamu nggak siap.”

“Aku siap kok.”

Pijar mengangkat bahu. “Nggak semua hal tentang diriku perlu kamu ketahui. Dan nggak semuanya baik bagimu untuk tahu. Tapi terserah kamu.”

Devina tak mengindahkan perkataan Pijar. Ia terlalu bersemangat ingin mengetahui rahasia Pijar. Selama beberapa menit Devina larut di dalam cerita yang ada di buku itu. Ia segera tahu bahwa Pijar ternyata memiliki kosakata dan diksi yang baik. Pijar suka kata-kata bersayap dan indah, menjadikan apa yang ditulisnya seperti puisi.

“Siapa ini gadis berambut lurus dan berwajah seperti boneka?” tanya Devina.

“Siapa lagi kalau bukan kamu? Pertanyaan retoris,” jawab Pijar malas-malasan.

Devina kembali menekuni buku harian Pijar, berusaha mencerna kata-kata yang dituliskan Pijar. Beberapa kali Pijar menuliskan puisi, namun tak jelas kepada siapa puisi itu ditujukan.

“Pijar, kata-kata ini bagus. Ada harum yang menyelinap masuk di ingatanku. Ada desir yang tertingal di dada kiriku. Kaukah itu, Jaket Biru?”

Meski dirundung rasa heran dan dihujam beragam pertanyaan, Devina terus membaca. “Ini ada lagi satu bait lagi kata-kata yang indah. Jika saja hasrat-hasrat yang berlarian punya tempat berteduh, tak ada lagi kiamat memikat. Hei Jaket Biru, adakah kau berkenan menjadi tempat berteduh hasrat-hasrat itu? Kamu tujukan untuk siapa kata-kata ini?”

“Mungkin untukmu. Aku lupa. Itu sudah beberapa bulan yang lalu,” jawab Pijar sambil lalu.

Raut wajah Devina memucat, perlahan hatinya seperti ditikam pisau. “Pijar, aku bahkan nggak punya jaket berwarna biru. Jadi, apa kamu bermaksud bilang bahwa kamu menyukai orang lain selain aku?”

“Iya benar. Ada orang lain yang aku suka,” kata Pijar yang akhirnya memilih untuk jujur.

Air mata Devina meleleh di pipinya. Dibuangnya buku harian Pijar ke seberang ruangan. Hatinya perih mengetahui Pijar bukan hanya menyayanginya. Ada perempuan lain yang mengisi hati Pijar selain Devina. Hal itu tak bisa diterima logika dan hati Devina. Ia begitu jatuh cinta kepada Pijar selama ini.

“Ternyata kamu nggak sungguh-sungguh menyayangi aku,” ujar Devina sambil terisak.

Pijar menghampiri Devina dan memeluk gadis itu. “Kamu salah ambil kesimpulan. Aku benar-benar sayang kamu dan aku nggak pernah bohong.”

“Lalu kenapa kamu punya perasaan untuk perempuan lain?” tuntut Devina.

“Aku nggak bisa mengontrol perasaanku, Devi Sayang.”

Devina melepaskan diri dari pelukan Pijar. “Kalau kamu nggak bisa mengontrol, kenapa kamu memutuskan untuk jadikan aku pacarmu?”

“Devina, kamu ingat kan kalau kamu yang mendesak untuk menamai kedekatan kita dengan predikat pacaran?”

Air mata Devina keluar semakin deras mendengar ucapan Pijar barusan. “Kita sudah sedekat ini, berbagi cerita, kenyamanan, dan ciuman. Apa itu namanya kalau bukan pacaran? Apa itu nggak cukup buat kita untuk saling berkomitmen?”

“Maaf, tapi bagiku batas-batas komitmen di dalam pacaran itu nggak jelas sama sekali. Aku nggak pernah paham dengan konsep pacaran. Kita berdua nggak bisa saling membatasi perasaan kita atau berkomitmen karena konsep yang jelas bagiku hanya pernikahan.”

“Aku paham sekarang kamu membatasi dirimu dan nggak izinkan aku tahu lebih banyak tentang dirimu. Apa gunanya kita sedekat ini kalau hanya aku yang terbuka dan ingin berbagi?”

Senyum getir terukir di bibir Devina. Ia tak menyangka begitu rumitnya jalan pikiran Pijar. Si Rumit yang juga berpikiran logis. Kesadaran baru muncul di hati Devina bahwa hubungannya dengan Pijar tak bisa berjalan sesuai harapannya. Lebih baik ia sakit hati sekarang daripada di masa depan ketika cintanya kepada Pijar makin besar, ia baru sadar betapa kelirunya mencintai Pijar.

“Maafin aku, Devina. Aku sungguh nggak pernah bermaksud menyakiti kamu,” tutur Pijar tulus.

Devina menyeka air matanya. Tak ada gunanya menangis saat ini di hadapan Pijar, toh ia tak bisa mengubah prinsip Pijar tentang idealnya sebuah hubungan sepasang kekasih. Lagipula mereka begitu berbeda. Devina ingin menyimpan air matanya untuk nanti malam saat ia beranjak tidur, di saat itulah ia akan menangis sejadi-jadinya.

“Iya Pijar, aku cuma butuh waktu untuk menerima pribadimu. Tapi untuk saat ini, lebih baik kita sudahi aja kedekatan kita. Aku nggak siap kalau hal-hal seperti ini terjadi lagi di mana kamu masih bisa menyukai orang lain selain aku. Aku pulang, ya.”

Devina bergegas berdiri dan keluar dari kamar Pijar. Pijar mengikuti langkah Devina. “Aku antar kamu pulang, ya. Malam sudah datang, nggak baik perempuan pulang sendiri.”

“Iya.”

Mereka berjalan dalam diam sambil bergandengan tangan ditemani sunyinya malam. Dalam hati Devina berjanji ini kali terakhir ia mengizinkan Pijar menyentuhnya. Ia tak akan mencari Pijar lagi demi kebaikan dirinya sendiri. Mungkin keputusan Devina tak adil bagi mereka berdua, namun mereka harus siap menerima datangnya sakit hati yang tak terduga ini.

Selesailah sudah…

MEI 2009, CERITA JESSIE TENTANG PIJAR

Pekik riang lolos dari mulut Jessie saat ia akhirnya menapakkan kakinya di tepi Segara Anakan setelah kira-kira selama dua setengah jam ia berjalan menyusuri Pulau Sempu, Malang. Perjalanan yang tidak mudah. Jessie dan beberapa orang dari klub fotografinya harus melewati jalan berlumpur yang membenamkan kaki mereka hingga mata kaki dalam setiap pijakan.

Dengan spontan Jessie memeluk pria seperjalanannya yang mendampinginya selama perjalanan itu. Mereka berdua tiba paling cepat di Segara Anakan.

”Pijar, indah banget ya pemandangannya di sini.” Seraya berkata demikian, mata Jessie menerawang ke lubang besar di sebuah karang yang membuat air laut masuk ke Pulau Sempu dan menyebabkan terciptanya laguna atau segara di sana.

”Mau lihat pemandangan yang lebih indah? Yuk kita ke sana,” kata Pijar sambil menunjuk karang tinggi yang letaknya berseberangan dengan tepian segara.

Pijar membimbing Jessie mendaki karang itu. Di puncak karang, Pijar yang lebih dulu sampai ke sana menutup mata Jessie dengan kedua tangannya. Jessie memekik girang lagi ketika menyadari dirinya kini berhadapan langsung dengan Samudera Indonesia. Ombak ganas menerpa karang setinggi sepuluh meter itu, tak jarang hingga melampaui puncaknya.

”Makasih ya udah rekomendasikan tempat ini buat tempat jalan-jalan anak-anak klub fotografi,” kata Jessie tersenyum.

Pijar menggandeng tangan Jessie dengan lembut. ”Sebagai alumni, kamu dan aku memang harus memberi yang terbaik buat organisasi yang kita urus dulu.”

“Organisasi tempat di mana kita bertemu lima tahun lalu,” kata Jessie.

“Tempat di mana kita melampiaskan segala unek-unek tentang kehidupan kampus yang klasik,” sambung Pijar.

“Tempat di mana memotret adalah jalan untuk melarikan diri dari segala hal-hal menjenuhkan dalam hidup.”

“Tempat di mana memotret denganmu adalah hal yang selalu aku tunggu setiap minggunya.”

“Tempat di mana aku menemukan sahabat yang luar biasa mengerti aku luar-dalam.”

“Dan tempat di mana aku jatuh hati diam-diam pada sahabatku sendiri,” tutur Pijar.

Jessie terdiam mendengar kata-kata Pijar. Hubungan mereka berdua sejak lima tahun lalu memang rumit, terlalu dekat untuk dilabeli sebagai sahabat, namun mereka juga bukan sepasang kekasih. Jessie selalu tahu dengan siapa Pijar berkencan, begitu pula sebaliknya. Setahun belakangan mereka bahkan lebih dekat daripada sebelumnya.

Melihat Jessie kehilangan kata-kata, Pijar memeluk gadis itu dari belakang. Mereka berdua sama-sama memejamkan mata, merasakan angin dan percikan ombak yang menerpa wajah mereka.

“Aku kangen kamu, Jess. Udah tiga bulan kita nggak ketemu. Kerja di kota yang berbeda denganmu bikin kita susah ketemu.”

Jessie membalikkan badannya dan menghadap Pijar. “Kamu pikir aku nggak kangen? Dulu kita hampir tiap hari ketemu. Lalu setelah lulus, kita pisah. Aku ngerasa kehilangan kamu banget.”

Pijar merengkuh Jessie lebih erat di dalam pelukannya. Tak kuasa menahan hasratnya, Pijar mulai mengecup bibir Jessie, melumatnya dengan lembut dan perlahan. Di tengah larutnya mereka di dalam ciuman itu, Jessie tiba-tiba menarik bibirnya, terkesiap ketika melihat seseorang di bawah karang melihat lurus ke arah mereka.

“Pijar, kayaknya rombongan kita udah pada sampai deh. Itu ada yang melihat kita dari bawah,” kata Jessie yang kini mukanya memerah karena malu.

Pijar mengikuti arah telunjuk Jessie. Dilihatnya seorang perempuan, mungkin salah satu junior mereka di klub fotografi, sedang mengamati mereka. Gadis itu segera memalingkan wajah ketika menyadari Pijar dan Jessie telah menyadari keberadaannya di sana.

Jessie dan Pijar memutuskan untuk turun ke tepi segara saat satu per satu teman-teman mereka mulai datang. Beberapa orang yang sudah sampai lebih dulu cepat-cepat mendirikan tenda sebelum malam datang. Para perempuan mendapat tugas untuk memasak air dan makanan ala kadarnya. Malam itu sekitar 15 orang alumni klub fotografi dan beberapa pengurus yang masih aktif akan camping di Pulau Sempu.

Jessie menyibukkan diri bersama teman perempuan yang lain, termasuk si gadis yang memergokinya berciuman dengan Pijar tadi. Sementara Jessie memasak mie instan, si gadis tadi sibuk menyeduh kopi di beberapa gelas plastik. Setelah selesai, gadis itu mengambil satu gelas kopi dan berjalan ke arah Pijar, lalu menyerahkan gelas itu ke tangan Pijar.

Dari kejauhan Jessie melihat Pijar dan gadis itu mengobrol cukup akrab seolah mereka sudah kenal lama. Mungkin karena Pijar adalah mantan ketua klub ini, si cewek junior itu meminta masukan dari Pijar, pikir Jessie.

Selesai dengan urusan masak dan memasang tenda, mereka menikmati malam di tepi segara, melihat bintang yang luar biasa banyaknya bagaikan ditaburkan di langit. Pijar dan Jessie menjauh dari api unggun dan duduk di batang pohon yang sudah rubuh.

“Kamu kenal sama cewek yang mergokin kita ciuman tadi, yang pakai jaket biru?” tanya Jessie.

“Ya, aku kenal. Dia ketua klub fotografi yang baru. Sepertinya angkatan 2007,” jawab Pijar.

“Kelihatannya akrab sekali? Aku amati, sejak tadi sepertinya kamu selalu memperhatikan dia,” kata Jessie sambil tersenyum menggoda.

“Iya, aku memperhatikan cewek jaket biru itu. Dia manis, rambutnya keriting, lucu.”

Jessie sudah menyangka bahwa Pijar memang memperhatikan gadis itu. “Kamu tertarik sama dia?”

“Sedikit. Dia memang gadis yang menarik. Cukup pendiam dan pemalu. Aku cuma penasaran apa yang ada di balik pikiran gadis polos macam itu,” tutur Pijar.

Tawa Jessie berderai. Khas Pijar, dia seorang pengagum perempuan. “Pacari saja kalau memang kamu tertarik.”

“Aku nggak mau pacaran. Ingat? Cukuplah kejadian tentang Devina itu. Aku nggak mau terikat dan diikat. ” jawab Pijar jujur.

“This is typically you, you’re not comfortable for being in relationship with somebody.”

“Yes, I am. Tapi untuk saat ini aku sangat sayang kamu, Jess.”

Jessie mengangkat bahu. “Apa sih aku buatmu?”

“You’re a part time lover and a full time friend for me. Kamu sahabat paling baik untukku.”

Sekali lagi Jessie tertawa mendengar jawaban Pijar. “Kita nggak bisa seperti ini terus, Pijar. Sebisa apapun aku memahami kamu, hati ini sakit juga kalau kamu selalu saja menyimpan perempuan lain di perasaanmu. Pengen benar aku bisa jadi sahabatmu, benar-benar sahabat.”

“Maksud kamu apa?” tanya Pijar, heran.

“Umur kita sudah hampir 25 tahun, Pijar. Sebagai perempuan, pada saat umur-umur inilah aku berpikir untuk menjalani hubungan serius dengan seorang pria dan berencana menikah.”

Pijar terdiam mendengarkan perkataan Jessie. Sejak lama Pijar paham bahwa kelak Jessie akan membawanya ke arah hubungan serius. Itulah mengapa Pijar selalu urung membicarakan tentang rencana hidup dengan Jessie.

“Pijar, orang tuaku pengen aku nikah tahun depan. Dan melihat aku belum punya pacar, mereka berusaha menjodohkan aku dengan anak teman mereka.”

“Lalu?”

“Pria itu baik hati, tampan, pekerjaannya sudah cukup bagus, lembut, dan pengertian. Pokoknya dia tipe idaman setiap perempuan. Jadi aku harus bagaimana menurutmu?”

“Kalau kamu suka, ya pacaran saja dengan dia. Simple kan?”

Mata Jessie mengerjap. Tanggapan Pijar terlalu biasa padahal ia sedang mencoba mengukur sejauh mana perasaan sayang Pijar terhadap Jessie. Ia menyimpulkan ternyata Pijar tak cukup ingin memiliki Jessie sebagai perempuan dan sebagai pasangan hidup.

“Kamu nggak ingin merencanakan hidup bahagia dengan aku?” tanya Jessie.

Pijar menggeggam tangan Jessie. “Ada kamu saja di samping aku, itu sudah cukup bikin aku bahagia. Selama ini aku selalu bahagia di dekat kamu. Ekspektasiku akan kebahagiaan nggak muluk-muluk, Jess, cuma itu. Justru aku yang takut nggak bisa membuat kamu bahagia sesuai ekspektasi kamu.”

“Jadi lebih baik aku coba berpacaran dengan laki-laki itu saja?”

Pijar mengangguk. “Iya. Kalau kamu bilang memang dia sebaik itu, aku percaya dia pasti bisa membahagiakan kamu. Seperti kamu bilang, kita harus coba untuk benar-benar bersahabat saja.”

Jessie sudah pernah menerka beginilah akhir kisah cintanya dengan Pijar. Berbicara dan berhadapan dengan Pijar tak bisa hanya mengandalkan perasaan, logika jadi yang utama. Meski hatinya perih, Jessie tetap tersenyum. Dipandanginya pria berkepribadian unik dan tidak biasa itu. Bagaimana pun Pijar adalah orang pertama yang pernah Jessie cintai.

Mencoba meringankan beban hatinya, Jessie kembali bersikap ceria. “Kamu lihat, cewek jaket biru itu melihat ke arah kamu lagi, sepertinya dia tertarik sama kamu.”

“Mungkin saja begitu.”

“Ya sudah, dekati saja dia kalau kamu memang suka.”

“Nanti ada waktunya, nggak sekarang.”

“Pijar, aku mau tidur ya. Selamat malam,” kata Jessie, kemudian mengecup kedua pipi Pijar.

Saat Jessie berjalan ke tenda anak perempuan, ia menyapa gadis berjaket biru yang membuat Pijar tertarik. Setelah itu Jessie cepat-cepat masuk ke dalam tenda sebab matanya berkaca-kaca. Di dalam tenda, Jessie mendekap mulutnya dan menangis tanpa suara. Beginilah akhirnya, Jessie harus merasa cukup hanya dengan bersahabat dengan Pijar.

Cukuplah sudah…

MEI 2010, CERITA FARA TENTANG PIJAR

Dering keras ponsel membuat Fara dan Pijar kaget. Mereka melepaskan pelukan mereka dan mendengarkan dengan seksama. Fara dan Pijar saling bertatapan sambil sesekali melirik ponsel Fara. Setelah deringnya mati, dengan sigap Fara mematikan ponselnya sebelum si penelepon barusan meneleponnya lagi. Saat ini Fara tidak ingin diganggu.

Fara mengeluarkan nafas panjang pertanda kelegaan menghinggapi perasaannya. Ia kembali duduk di pangkuan Pijar dan merangkulkan lengannya di leher Pijar.

“Itu tadi Hadi kan, pacarmu?” tanya Pijar santai.

Fara mengangguk. “Udah sebulanan ini aku males ketemu dia lagi. Dia kurang asyik.”

“Terus yang asyik kayak apa dong?”

“Kayak kamu, Pijar.”

Seusai menjawab pertanyaan iseng Pijar, Fara langsung menghujani Pijar dengan ciuman-ciuman kecil di sekeliling wajah Pijar. Tanpa pikir panjang, Pijar memerangkap bibir Fara dan menciuminya dengan antusias. Keduanya kini berbaring di tempat tidur dengan posisi Pijar menindih Fara.

“Ah, Fara… Kamu selalu bikin aku nggak fokus. Sesi foto kita nggak selesa-selesai. Udah dua jam aku di sini dan yang kita lakukan hanya berpelukan dan berciuman.”

Fara tersipu-sipu senang, sementara Pijar beranjak dari tempat tidur dan mulai memasang kameranya pada tripod. Selesai dengan urusan kamera itu, Pijar berkacak pinggang tak sabar. Pandangan mata Pijar mengisyaratkan agar Fara lekas berpose sesuai dengan yang diinginkan gadis itu. Sambil memberengut manja, Fara bergegas ke kamar mandi untuk berganti kostum pertamanya.

“Ka-ka-kamu serius mau pakai lingerie buat difoto?” tanya Pijar, tergagap.

Fara mengangguk. “Temanya kan bed room. Lagian ini kan cuma buat koleksi pribadi aku. Udah lama aku pengen difoto dengan pose dan pakaian provokatif begini.”

Selama ini di sela-sela kesibukan kuliah, Fara memang bekerja sebagai foto model untuk majalah berkat prestasi kecilnya menjadi pemenang kontes gadis sampul saat ia remaja dulu. Sejak duduk di bangku kuliah, Fara sering dimintai tolong oleh teman-temannya di klub fotografi kampus untuk menjadi model. Di sanalah Fara mengenal Pijar sejak tiga tahun belakangan.

Fara duduk di ranjangnya lagi. Ia berpose sesuai keinginannya dilatarbelakangi dinding yang sudah dia hias sedemikian cantik agar hasil fotonya pun bagus. Dilihatnya Pijar berkonsentrasi memotret dirinya sambil sesekali menyarankan suatu pose dan mimik wajah tertentu.

Setelah kira-kira dua puluh foto, Fara berganti kostum lainnya. Kali ini bahkan Pijar tak bisa menahan matanya untuk tidak memandang Fara dengan kilat liar. Kali ini Fara mengenakan atasan bikini polkadot, hot pant berbahan denim yang sangat seksi, dan sepatu stiletto bertumit tinggi. Fara berjalan anggun ke arah kursi rotan di sudut kamarnya. Di situlah rencananya ia ingin difoto.

Ketika mereka sudah kehabisan ide, merekan pun berhenti. Fara cukup puas melihat gambar dirinya di kamera digital SLR Pijar. Belum pernah ia berpose sedewasa dan ‘senakal’ itu. Pijar yang masih terkagum-kagum melihat lekuk tubuh Fara yang hanya memakai pakaian minim kain itu, menyambar kaosnya yang teronggok di lantai sejak tadi. Melihat itu, Fara merebut kembali kaus Pijar dan melemparnya ke atas lemari. Seusai berbuat demikian, Fara tergelak tertawa.

“Nggak usah dipakai, kamu kelihatan seksi bertelanjang dada begitu dan cuma pakai celana jeans.”

Pijar menghampiri Fara dan mengambil alih kameranya, lalu meletakkan benda itu di meja. Disudutkannya Fara ke tembok dan diciuminya gadis itu tanpa ampun. Pijar menghirup harum yang menguar dari leher Fara. Tangannya dengan liar menyentuh setiap senti tubuh Fara yang tidak tertutup kain.

Pijar menghentikan ciumannya sebentar dan tersenyum menggoda. “Kamu juga pasti kelihatan seksi kalau telanjang dada.”

“Enak aja. Kalau mau lihat aku begitu, pacari aku dulu,” tantang Fara.

“Lalu Hadi bagaimana nasibnya?”

“Ya, Hadi nggak perlu tahu.”

“Memang hubunganmu sama Hadi sudah sejauh apa sih? Apa karena dia udah jadi pacarmu, lalu dia boleh melihatmu bertelanjang dada?”

Fara mengangkat bahu dan memasang mimik malas-malasan. “Ya kurang lebih seperti itu. Orang zaman sekarang kalau pacaran ngapain lagi sih?”

Pijar tertawa mendengar kata-kata frontal Fara itu. “Memangnya harus pacaran ya untuk melakukan hal itu? Fara… Fara… Lakukan aja hal-hal yang bikin kamu bahagia, nggak perlu pakai aturan.”

“Jadi kamu nggak berminat pacaran sama aku?”

“Sesama player nggak boleh terikat. Nggak beres jadinya nanti. Lagipula aku sudah anti dengan kata pacaran,” kata Pijar sambil membelai rambut lebat Fara.

Dengan penuh hasrat, Pijar mencium Fara lagi. Fara membimbing Pijar kembali ke ranjangnya. Pijar benar, ia tak perlu punya aturan untuk membuat dirinya bahagia. Lagipula kebanyakan aturan yang beredar di masyarakat itu bersifat tak jelas batasan serta tujuannya. Untuk saat ini, keberadaan dan sentuhan Pijarlah yang bisa membuatnya bahagia.

Hasrat liar membujuk mereka hingga mereka kehilangan kontrol. Dengan mulut keduanya masih saling memagut, Pijar membuka celana jeansnya. Selanjutnya giliran pakaian Fara yang ditanggalkan Pijar dengan mudahnya.

“Can I come in? Do you want us to…”

Fara menjawab cepat, “Yes, please come in. I want you so bad.”

Tembok bercat merah muda kamar Fara menjadi saksi insan berbeda jenis itu menyatukan tubuh mereka. Mereka menembus aturan, tak ada lagi batas, yang ada hanyalah keinginan mereka memadukan kebahagiaan. Pada suatu titik mereka kelak akan sadar, itu hanyalah kebahagiaan semu.

Satu jam kemudian hasrat liar mereka memudar dan perlahan mereka mendapatkan kewarasan mereka lagi. Tiba-tiba malu merundungi perasaan Fara. Dipungutnya pakaiannya dan lekas dipakainya. Pijar masih berbaring, menutupi sebagian tubuhnya dengan selimut.

“Kenapa perempuan yang sudah punya pacar sepertimu mau berkencan dengan pria lain?”

Fara tak langsung menjawab. Ia bingung. “Aku nggak paham. Apa teorimu?”

“Ada luka batin tertentu yang menyebabkan kamu kecewa sama Hadi dan menjadikanku pelampiasanmu.” Kata-kata Pijar itu cukup menohok perasaan Fara. “Kalau memang kamu kecewa dan nggak ingin lagi melanjutkan komitmen kalian, kenapa masih bertahan?”

“Kalau aku putus, dengan siapa aku nanti? Sejauh ini hanya Hadi lelaki yang memenuhi kriteria pendamping hidup yang ideal menurutku,” jelas Fara.

Pijar mendengus. “Jadi hanya itu alasannya? Kenapa harus berusaha mencintai laki-laki yang sudah mapan secara materi padahal itu nggak membuat kalian bahagia?”

“Lalu aku harus memilih siapa? Kamu, Pijar? Jelas nggak mungkin dong. I’ll be risking my life if I choose you. Sebenarnya materi dan kemapanan bukan masalah utama buat aku. Kalau kamu bisa sedikit serius dan berkomitmen, aku nggak ragu ninggalin Hadi.”

“Dan kenapa kalian para perempuan terlalu takut menjalani hidup dan nggak berani ambil risiko? Kenapa harus takut patah hati? Patah hati itu bagian dari hidup, Far, nikmati aja. Kebahagiaan itu bukan dicari, tapi diciptakan.”

“Gampang buat kamu ngomong begitu, ya. Kamu ini lelaki penggila perempuan, nggak peduli perasaan perempuan,” tukas Fara.

Fara menyalakan ponselnya lagi. Tepat pada saat itu ponselnya berdering mengumumkan adanya panggilan masuk. Pijar mengamati Fara yang kini berjalan ke kamar mandi untuk menjawab telepon itu.

“Jar, Hadi bakal sampai ke sini lima belas menit lagi. Lebih baik kamu pulang sekarang.”

Pijar memakai pakaiannya dalam diam. Secepat kilat ia memberesi peralatan fotonya dan dimasukkan ke tempat yang benar. Mendadak Fara mendapat kesan bahwa Pijar marah kepadanya. Mungkin ia terlalu keras berbicara kepada Pijar tadi.

“Pijar, kamu marah ya? Maafin aku, ya. Aku nggak bermaksud berkata selancang itu.”

“Aku nggak marah,” kata Pijar tanpa memalingkan wajah kepada Fara.

Fara memeluk Pijar dari belakang saat Pijar beranjak ke pintu. “Kamu bakal datang ke sini lagi kan?”

“Rasanya aku nggak perlu datang ke sini lagi. Sulit untuk menjalin hubungan dengan perempuan yang sudah berkomitmen dengan orang lain dan nggak mau ambil risiko.”

“Jadi?”

“Ya, jalani saja pilihanmu. Toh sejak awal kamu sudah memilih. Aku ini lelaki gila perempuan dan suka mempermainkan hati perempuan, menurut pendapatmu begitu, kan? Daripada kamu nanti merasa lebih sakit hati, lebih baik sudahi saja.” Fara mengangguk lemah, mengakui kebenaran kata-kata Pijar itu.

Ia mengantar Pijar hingga gerbang depan pondokannya. Langkah Pijar sempat terhenti ketika secara tak sengaja ia bertabrakan dengan gadis berjaket biru yang memasuki gerbang pondokan. Fara bisa melihat Pijar tertegun memandang gadis berjaket biru tadi yang entah mengapa tiba-tiba berlari menuju kamarnya.

“Sayonara,” kata Pijar.

“Jaga diri baik-baik dan temukan gadis yang tepat untukmu. Good bye.”

Hancurlah sudah…

MEI 2012, CERITA NALANDA TENTANG PIJAR

Ketegangan menyelimuti hati Nalanda malam itu. Lelaki yang ditunggunya belum kunjung datang ke cafe tempatnya bekerja, padahal waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Beberapa rekan kerjanya termasuk pelayan sudah bersekongkol dengan Nalanda untuk mensukseskan kejutan yang akan diberikan Nalanda kepada lelaki yang ditunggunya.

Bila Pijar, lelaki yang ditunggunya ternyata tak datang, Nalanda akan sangat merasa tak enak hati kepada atasannya karena malam itu ia tidak bekerja seperti biasanya, sebagai penyanyi. Lima menit sekali Nalanda mengecek jam tangannya. Ia merasa waktu berjalan lebih cepat daripada biasanya. Para tamu cafe terlihat berdatangan hampir nyaris bersamaan. Tidak biasanya cafe dipenuhi pengunjung pada jam selarut itu karena hampir semua pengunjung yang ada di cafe itu adalah tamu undangan Nalanda, gabungan antara temannya dan teman Pijar. Para tamu diminta mengenakan topeng malam itu.

Hampir tengah malam dan Pijar baru terlihat memasuki cafe. Dari tempat tersembunyi Nalanda bisa melihat Pijar menduduki satu-satunya tempat yang tersisa di tengah ruangan. Ia tampak mengesankan dengan pakaian berupa kemeja pas badan berwarna ungu sirup anggur. Pijar menyapukan pandangannya ke sekeliling cafe, mencari-cari sosok Nalanda. Wajahnya berubah heran saat disadarinya hampir semua pengunjung cafe mengenakan beraneka ragam topeng.

Lampu cafe mendadak padam, cahaya yang tersisa hanya dari lilin-lilin di meja. Tak lama layar di panggung bersinar, merefleksikan gambar dari proyektor yang tergantung di atap. Pijar terkesima melihat kumpulan foto, karya seseorang yang kini ditampilkan di layar dan dibumbui dengan animasi, terangkai menjadi sebuah cerita. Semuanya sama, objeknya Pijar, diambil secara diam-diam namun tetap memiliki keindahan sudut pandang.

Layar putih itu berhenti menampilkan foto-foto dirinya, disusul dengan animasi bertuliskan “Happy Birthday, Pijar!” Tepat pada saat itu lampu café menyala benderang. Semua tamu melepaskan topeng mereka dan mulai menyanyikan lagu ulang tahun, dipimpin oleh penyanyi dan para pemain musiknya yang tiba-tiba sudah ada di panggung. Seorang pelayan menghampirinya dengan membawa tiramisu besar dengan lilin berbentuk angka “28” bertengger di atasnya. Para tamu yang juga teman-teman Pijar mendesaknya untuk meniup lilin itu. Tepuk tangan riuh menyusul setelah Pijar meniup lilin itu. Hati Pijar meletup, dipenuhi kebahagiaan. Namun dada kirinya masih berdesir kencang, menanti kemunculan gadis yang dicintainya, yang diyakininya merupakan pencipta keadaan itu.

Ketika keadaan sudah cukup tenang, pemain band di panggung mulai memainkan intro sebuah lagu yang sangat dikenal Pijar. Suara lembut dan merdu Nalanda menyusul setelah intro itu. Dari balik kegelapan Nalanda muncul, menggunakan terusan tanpa lengan dengan panjang selutut berwarna putih gading. Nada tersusun begitu indah saat Nalanda menyanyikan lagu favorit Pijar, “When I See You Smile” milik Bad English.

“Terima kasih untuk semuanya ini. Jujur ini adalah perayaan ulang tahun terindah yang pernah aku alami,” kata Pijar saat tamu berangsur-angsur meninggalkan café.

“Aku tulus kok melakukan ini,” kata Nalanda sambil tersenyum.

Keduanya terdiam, terlalu tegang untuk meluapkan perasaan masing-masing. Seorang pelayan yang juga bertugas mengunci pintu café menghampiri mereka di tengah jeda percakapan mereka. Rupaya si pelayan hendak mengunci pintu café. Nalanda menyuruh pelayan itu pulang saja dan menyanggupi mengunci café itu nanti karena ia belum membereskan barang-barangnya sama sekali.

“Aku mau ngomong sesuatu sama kamu,” kata keduanya berbarengan, lalu mereka tertawa.

“Lady’s first.”

“Nggak dong. Yang ulang tahun duluan bilang apa yang ingin dikatakan.”

Wajah Pijar terlihat sedikit menegang. Ia mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Sebuah kotak berisikan cincin berpendar indah. “Nal, mungkin aku nggak sempat nyusun kata-kata manis saat ini. Hanya saja aku ingin kamu memiliki ini. Ini tanda aku serius cinta sama kamu.”

Giliran wajah Nalanda yang menegang. Ia tak menyangka hubungannya dengan Pijar akan seserius ini. Mereka baru berkencan setidaknya setengah tahun terakhir.

“Apa maksudnya ini, Jar?” tanya Nalanda saat Pijar memasangkan cincin di jari manisnya.

“Nalanda, kamu mau nikah sama aku? Kamu nggak perlu jawab sekarang. Ambillah waktu untuk berpikir. Aku akan tunggu sampai kapan pun kamu mau jawab.”

Nalanda menelan ludah. “Jujur aku sama sekali nggak nyangka. Dan memang aku nggak akan jawab sekarang.”

“Ya sudah nggak apa-apa. Kita pulang, yuk, udah malam nih. Aku antar kamu pulang.”

Setelah Nalanda selesai membereskan barang-barangnya, ia bergegas keluar dari café itu. “Kamu melupakan ini,” kata Pijar. Salah satu tangannya mengambil jaket biru yang tersampir di kursi yang tadi diduduki Nalanda.

“Arrgggh! Untung kamu ingatkan aku. Ini jaket usang kesayanganku sejak jaman kuliah dulu. Nggak boleh ilang sama sekali!”

Pijar tertawa mendengar nada kekanakan dalam kata-kata Nalanda. Selesai mengunci pintu café, Pijar menggandeng tangan Nalanda menuju mobilnya.

“Jaket birumu itu punya makna tersendiri buat aku. Dan jaket biru jadi representasi tentang kamu di beberapa puisi yang aku buat untuk kamu,” kenang Pijar.

Nalanda terkekeh. “Iya, Devina sadar kalau itu aku yang kamu maksud di puisimu. Dia bilang sama aku juga akhirnya. Pantas setahun itu dia nggak mau bicara sama aku padahal kami sering sekelas. Oh iya, aku juga lagi pakai jaket ini waktu di Malang aku mergokin kamu ciuman sama Jessie.”

“Dan kamu juga lagi pakai jaket itu waktu kita nggak sengaja ketemu di gerbang kosan Fara. Ternyata kamu satu kos dengan dia. Dan kamu lari begitu saja seolah-olah nggak kenal aku.” Mereka tertawa bersama mengenang pertemuan ganjil mereka di tahun-tahun silam. “Omong-omong tadi kamu mau bilang apa?” tanya Pijar lembut.

“Pijar, aku mau pergi besok ke Australia,” ujar Nalanda tiba-tiba.

“Kenapa begitu mendadak?” tanya Pijar, terperanjat.

“Ini sudah aku rencanakan sepanjang aku kuliah dulu kok. Aku akhirnya dapat beasiswa S2 dari Monash University! Itulah kenapa aku milih kerja malam jadi penyanyi café setelah aku lulus dari setahun lalu. Karena di siang hari aku sibuk les bahasa Inggris, gerilya cari beasiswa, dan ngasih proposal penelitian ke mana-mana.”

“Kamu nggak pernah cerita apa-apa sama aku tentang hal ini.”

“Dan kenapa aku harus cerita? Kamu sendiri yang bilang, kita ini ibarat dua lingkaran yang saling beririsan, tapi gimana caranya kita menjaga agar irisan itu nggak semakin besar. Kamu yang bilang, nggak semua hal tentang diri kita perlu diketahui masing-masing dari kita.”

Mulut Pijar membuka-menutup. “Itu dulu, Nal, bertahun-tahun lalu. Aku punya arti lain tentang hubungan kita selama setengah tahun terakhir.”

“Pijar, lima tahun aku kenal kamu, selama itu pula aku cinta sama kamu. Lima tahun aku lihat sendiri gimana kamu berhubungan dengan gadis-gadis lain dan aku cuma jadi pendengar yang baik saat kamu bercerita tentang mereka. Setiap kali kamu datang dan pergi dalam hidup aku, aku selalu dapat pelajaran baru, Pijar. Sama seperti sebelumnya, kamu datang tanpa menawarkan komitmen, hanya kata-kata manis gombal, kemudian pergi lagi, dan sekarang tahu-tahu kamu melamar aku, sementara di dalam hati aku meneguhkan diri bahwa kamu nggak mungkin serius jalani hubungan sama aku.”

Suara Nalanda penuh dengan emosi. Matanya mengerjap-ngerjap cepat, berusaha mengentikan air mata yang sudah berkumpul di pelupuk matanya.

“Iya, aku yang salah. Aku berusaha menekan perasaanku agar nggak semakin meluap-luap untuk kamu dulu. Kamu tahu sendiri, ada penghalang di antara kita. Ada kaca tinggi transparan yang misahin kita. Aku masih bisa melihat kamu tapi aku nggak bisa meraih kamu. Kalau pun aku maksa pecahin kaca itu, mungkin itu hanya melukai kita berdua aja kala itu. Kamu itu seorang kristiani yang taat, Nal. Mana berani seorang agnostic seperti aku mendekati kamu. Tapi sekarang aku udah nggak peduli, Nal.”

“Dan sekarang kamu pengen nikah sama aku, Jar?”

”Iya. Nggak pernah aku merasa seyakin ini sama seorang perempuan. Persetanlah agama.”

Nalanda tersenyum kecut. ”Pijar, agama udah nggak jadi masalah buat aku. Aku lebih mengkhawatirkan kemampuan kamu untuk jalani komitmen dengan perempuan. Kamu selalu menolak komitmen dan selalu gagal menjalaninya. Gimana aku bisa percaya sama kamu? Cinta aja nggak cukup, Jar.”

”Pikiranmu masih sama dengan kebanyakan perempuan yang aku kenal. Mereka anggap aku petualang yang mudah hinggap dari satu hati ke hati lain, penakluk perempuan, penghancur hati perempuan. Aku capek dianggap begitu, itu bukan aku. Tanya sama perasaanmu sendiri kalau kamu memang belum bisa percaya sama aku.”

”Tunggu aku kalau begitu, seperti aku bertahun-tahun nunggu kamu. Mungkin dengan begitu, aku bisa yakin,” kata Nalanda.

”Berapa lama kamu mau aku nunggu?”

”Mungkin aku nggak akan pulang ke Indonesia selama kurang-lebih dua tahun sampai aku selesaikan kuliahku. Kalau kita ketemu lagi dan kamu udah bersama orang lain, aku rela sama seperti dulu. Tapi kalau ternyata kamu masih setia cinta sama aku, aku mau nikah sama kamu, Pijar,” tegas Nalanda.

Pijar tak langsung menjawab permintaan Nalanda. Ia menghentikan mobilnya di depan rumah Nalanda, keluar dari mobil, dan membukakan pintu untuk gadisnya itu.

”Selama apapun itu, aku akan nunggu kamu, Nalanda. Kalau kamu bisa bertahan menikmati sakit hati yang aku berikan selama lima tahun, perihal menunggumu aku pasti juga bisa bertahan. I love you.”

”I love you too, Pijar.”

”Aku yang akan antar kamu ke airport besok dan aku juga yang akan jemput kamu dua tahun lagi.”

Pijar mencium lembut bibir Nalanda dan kemudian memeluk gadis itu erat seolah tak ingin kehilangan hartanya. Cinta pun berpijar di antara mereka.

Berpijarlah sudah…

Leave a comment