Article

Affirmative Action, Piutang Peradaban Perempuan

Pentingnya Upaya Penyamaan Starting Point antara Perempuan dan Laki-Laki dalam Politik

“Tindakan afirmatif merupakan terobosan bagi partisipasi aktif perempuan. Sudah saatnya memaksa partai politik untuk lebih memperhatikan kaderisasi perempuan. Tindakan ini harus dilakukan untuk mendorong perempuan masuk dalam partai politik,” tulis Sri Budi Eko Wardani, Pengajar FISIP UI dan Direktur Pusapol (Pusat Kajian Politik) Fisip UI, dalam artikelnya yang berjudul “Perjuangan Menggagas Kebijakan Afirmatif bagi Perempuan dalam UU Pemilu Tahun 2008”. (Jurnal Perempuan Edisi 63, dalam rubrik “Topik Empu”).

Semula affirmative action dirancang sebagai respon atas ketimpangan kondisi ekonomi kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat. Tindakan affirmative action memberikan perlakuan khusus kepada kelompok yang dianggap kurang beruntung di mana perlakuan tersebut bersifat sementara, sampai kelompok tersebut dianggap sudah memiliki posisi dan kesempatan setara dengan kelompok lain atau kelompok sosial minoritas yang dilindungi telah terintergrasi. Affirmative action juga bisa diartikan sebagai upaya percepatan peningkatan representasi perempuan di politik.

Kebijakan affirmative action mengharuskan adanya tujuan, jangka waktu penerapan serta pengawasan. Dengan kata lain, affirmative action adalah tindakan “pengobatan” terhadap diskriminasi perempuan, ras tertentu atau kelompok sosial minoritas tertentu sekaligus upaya untuk mencegah diskriminasi di kemudian hari. (Jurnal Perempuan Edisi 63, dalam rubrik “Kata dan Makna”)

Usaha affirmative action ini sudah direalisasikan dalam beberapa undang-undang dan peraturan. Pasal 53 dan Pasal 55 UU No. 10 tahun 2008 menjamin dalam tiga bakal calon legislator akan ada satu bakal calon perempuan. Selain itu ada pula UU RI No. 7 tahun 1984 tentang Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita. 

Keterwakilan perempuan tercantum juga di UU RI No. 39 tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia, Beijing Platform for Action melalui Inpres No. 9/2000 tentang Pembangunan Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional, dan Deklarasi MDGs (Millenium Development Goals).

Perjuangan perempuan untuk bisa masuk ke kancah politik semakin terbuka lebar ketika pada tahun 2004 perempuan diberikan kuota 30 persen dalam parlemen. Hal itu tercantum di dalam UU Pemilu dan UU Partai Politik. Namun, setengah tahun menjelang Pemilu Legislatif 2009, Mahkamah Konstitusi (MK) telah memberlakukan perolehan suara berdasarkan suara terbanyak, buka lagi di dalam tiga calon, minimal harus ada satu calon perempuan.

Rocky Gerung, Pengajar di Departemen Filsafat Ilmu Budaya UI dan Penasihat di Yayasan Jurnal Perempuan, menilai cara berpikir MK tidak demokratis. MK menganggap perempuan memunyai kemampuan yang sama dengan pria. “Itu teoritis. Dalam praktik, perempuan tidak punya kesempatan yang sama.” Di negara-negara Eropa, 30 persen itu justru yang membuat demokrasi semakin maju dan ekonomi semakin berkembang krena keputusan-keputusan legislatif bisa diambil oleh perempuan. Tidak ada laki-laki yang tahu soal domestik ekonomi.
Gerakan perempuan selama ini menuntut adanya affirmative action karena perempuan tidak berada di garis start yang sama dengan laki-laki. Perempuan tertinggal 25 abad dalam politik dibadingkan laki-laki.

“Makanya perempuan sekarang ingin ada affirmative action. Tiga puluh persen hak itu diberikan pada perempuan. Tiga puluh persen itu utang peradaban yang dituntut perempuan. Bahkan baru minta 30 persen, bayar utang laki-laki terhadap peradaban, karena tafsir hukum agama,” papar Rocky.

Ketika pasal 214 dicabut oleh MK, terjadi pertarungan bebas antara calon legislator. Ledia Hanifa, Anggota Komisi IX DPR 2009-2014, sependapat dengan Rocky bahwa afirmasi dibutuhkan sampai nanti ada starting point yang sama antara laki-laki dan perempuan. Saat ini Ledia hanya bisa mengharapkan good wiil partai politik untuk memosisikan perempuan di nomor urut yang pantas.

“Sekarang, meningkatnya jumlah perempuan di DPR bukan karena jumlah perempuan banyak tapi karena Partai Demokrat. Dari 106 perempuan anggota DPR, 36 orang berasal dari Demokrat. Nah, Partai Demokrat itu di setiap daerah pemilihan dapat dua atau tiga, pasti ada perempuannya dong kalau gitu? Jadi itu yang menyebabkan peningkatan jumlah perempuan sampai 18 persen,” tutur Ledia.

Rocky tidak setuju dengan anggapan bahwa affirmative action justru semakin memperjelas kelemahan perempuan. Jika kesempatan dibuat sama berarti perempuan tidak akan bisa masuk ke dalam politik. Dari segi hak terhadap waktu, perempuan harus mengurus dapur dulu baru rapat partai, sedangkan laki-laki bisa langsung pergi rapat. Maka itulah sebabnya perempuan diupaykan mendapat hak istimewa yang disebut affirmative action. Itulah justru letak keadilan. “Dibikin sama dulu garis start-nya baru dibuka persaingan bebas.”

“Saya sendiri sebenarnya bingung. Setelah ditetapkan kuota 30 persen, so what? Apakah nantinya perempuan di DPR akan membela kepentingan perempuan?” komentar Vivi Asmara, Education Specialist Institut Perempuan.

Namun kemudian Vivi sadar bahwa 30 persen pada mulanya dalah sebuah target. Hal ini dilakukan untuk memperjuangkan kesetaraan gender. Tidak semua lembaga mendukung itu, tapi Institut Perempuan sangat mendukung hal itu. Tiga puluh persen adalah persoalan kuantitas saja, belum sampai pada kualitas. Vivi menilai usaha ini adalah untuk mengupayakan agar setidaknya ada perwakilan perempuan di parlemen. Masalah kualitas perempuan di DPR, bisa dipikirkan kemudian.

“Kan belum sampai 30 persen? Saat ini baru 18 persen kan (jumlah perempuan di DPR, red), dan itu sudah perjuangan berapa lama? Oke targetnya kan 30 persen, kita memang belum sampai ke sana, mbok ya didukung dulu gitu lho. Walaupun memang orang berpikir—kaum lelaki terutama—wah, perempuan dikasih kesempatan terus nih, kapan majunya?” kata Vivi.

Peran Perempuan dalam Politik

“Kultur kita memang sangat menegasikan perempuan di dalam politik. Artinya, politik itu sangat maskulin. Karena disebut politik sangat maskulin, kita juga tidak membenarkan kenapa perempuan ada di dalamnya.”
Seruan itu dilontarkan Ledia saat ditemui di Gedung Nusantar I DPR pada Kamis (19/11). Ledia mengungkapkan perlunya perempuan masuk ke dalam bidang politik. Perempuan di dalam politik tidak semata-mata hanya yang duduk di DPR saja. Perempuan juga bisa bergelut di ranah eksekutif dan yudikatif. Partisipasi politik diperlukan perempuan di semua level dalam masyarakat.

Menurut Ledia, sebenarnya inti politik adalah memperjuangan kebaikan untuk masyarakat. Perlu disadari bahwa aspek-aspek yang ada di dalam masyarakat tersebut paling dekat itu dengan perempuan. Artinya, dalam kehidupan sehari-hari, pengelolaan tentang harga, dan tentang kesehatan. Hal-hal tersebut berkaitan dengan kebijakan. Setiap hal yang berkaitan dengan masyarakat dan kepentingan publik, sudah seharusnya melibatkan perempuan di dalam pembuatan kebijakannya.

Adriana Venny, Ketua Lembaga Partisipasi Perempuan (LP2), mengungkapkan banyak alasan kenapa harus memilih perempuan calon legislator. Banyak persoalan yang berkaitan dengan kehidupan perempuan di Indonesia; di antaranya perdagangan manusia, kekerasan domestik, kekerasan seksual, tingginya angka kematian ibu melahirkan, diskriminasi upah, pengabaian hak-hak reproduksi perempuan, pengabaian hak-hak buruh migran, pekerja rumah tangga dan sebagainya.

“Namun sayang, untuk terjun ke dunia politik perempuan masih kurang dukungan, dianggap hanya sebagai pelengkap, masih dianggap lebih subordinat ketimbang laki-laki,” kata Venny yang gagal menjadi anggota DPR pada Pemilu Legislatif lalu, lewat surat eletronik, pada Sabtu (28/11).
Ledia menambahkan, para aktivis perempuan tidak bisa terus-menerus berteriak-teriak menuntut keadilan bagi perempuan dari luar tembok DPR. Para feminis itu sudah banyak belajar kalau mereka berada di luar parlemen, maka mereka tidak bisa ikut membentuk kebijakan.

“Itu sebabnya sekarang banyak feminis masuk ke parlemen karena mereka sudah capai berteriak-teriak. Dalam sistem kita, yang ikut serta membuat kebijakan ya harus ada di dalam parlemen. Dari dari dalam inilah mereka bisa menyuarakan, tetapi mereka tidak harus konfrontatif ya. Dengan memberikan solusi dan saran, itu sudah sangat menolong,” kata Ledia.

Citra Negatif Perempuan Legislator

Kiprah dan langkah perempuan legislator di DPR seringkali menemui batu sandungan. Beberapa komentar miring alias citra negatif mampir di pundak mereka. Seorang dosen di Fikom Unpad pernah menyesali perempuan legislator “tidak punya gigi”, dengan kata lain tidak pernah terdengar gaungnya dalam memperjuangkan kepentingan perempuan.

“Jadi begini, media massa itu memainan peranan di sini dalam membentuk citra itu. Mass media is not fair,” kilah Ledia. 

Media massa dinilainya lebih suka mengambil figur-figur yang terlibat konflik, yang kira-kira akan menimbulkan kontroversi di masyarakat, sehingga koran mereka akan laku. Pihak kontra dalam suatu hal selalu saja yang dijadikan narasumber, sedangkan pihak pro tidak laku. Perempuan legislator yang sudah membuat press release pun, jarang digubris oleh wartawan. Kecenderungan perempuan adalah tidak berkonflik, sementara media massa suka pada konflik. Bad news is a good news. Kalau bukan karena perempuan melakukan hal yang sangat buruk, maka tidak mungkin perempuan diberitakan dalam media massa. Kutipan dari perempuan pun paling tidak hanya dimuat sebaris-dua baris.

“Nah, ini PR untuk yang jurusan Fikom. Banyak politisi-politisi perempuan yang baik. Tapi nanti kalau kita mengerjakannya panjang-lebar, baru kemudian dimuat dan diliput. Kalau perempuan konfrontir—ada konfrontasi—itu citranya akan negatif, nggak tetap positif,” imbuhnya.

Selain citra tentang kurangnya power perempuan di DPR, ada pula citra mengenai legislator yang berhasil melenggang ke Senayan hanya karena ketenaran mereka sebagai selebritas. Ledia tidak menutupi bahwa dalam Pemilu 2009 banyak public figure bermunculan untuk menambah perolehan suara bagi partainya. 

Menurutnya, sah-sah saja bagi partai politik untuk mengambil public figure, asal jangan sampai menjatuhkan citra partai itu sendiri dan malah tidak bisa membawa citra partainya sendiri. Para selebritas ini tidak bisa sekedar nampang dan selesai. Mereka diharapkan bisa membawa misi partainya sendiri.

“Perkara menarik perhatian atau tidak, konsekuensinya ketika sebuah partai mengajukan calon, partai itu harus siap dengan berbagai risiko. Masyarakat Indonesia masih sangat pragmatis, bisa jadi karena ketenaran, bisa jadi karena kultural—anak raja, anak pejabat banya juga ,kan? Tapi bisa juga melakukan berbagai macam cara, bukan semata-mata artis. Jika kemudian ada kecaman dari pihak luar toh akhirnya mereka berusaha juga untuk mengejar kompetensi,” tutur ibu tiga anak tersebut.

Politic Future Education

Ledia menilai kesempatan bagi perempuan untuk berperan serta dalam politik pada masa sekarang itu jauh lebih besar. Partisipasi perempuan sudah semakin bertambah partisipasi. Keterbukaan masyarakat terhadap perempuan di dalam politik pun bisa dinilai sudah cukup baik.
Dalam beberapa partai politik sudah menetapkan AD/ART (Anggaran Dasar/ Anggaran Rumah Tangga) yang mencantumkan bahwa 30 persen anggota harus perempuan. UU Partai Politik tahun 2008 menyebutkan bahwa setiap partai politik pada tingkat pusat harus memiliki paling sedikit 30 persen perempuan di dalam kepengurusan.
Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana mengajak sebagian besar perempuan di Indonesia untuk melek politik, bukan hanya menjadi objek pasif dalam penerapan kebijakan-kebijakan politik. Salah satu tugas partai politik adalah mengadakan future education. Ledia berpendapat seharusnya setiap partai politik turun ke kader-kadernya dan menjelaskan tentang pentingnya partisipasi perempuan di dalam partai politik.
Kesulitan perempuan untuk masuk ke DPR bukan saja berasal dari laki-laki, melainkan juga perempuan. Secara psikologis jika ada dua kandidat, laki-laki dan perempuan yang berkemampuan sama, orang akan tetap memilih lelaki. Jika kemampuan perempuan dua kali lipat di atas laki-laki, baru akan dipilih perempuan. Mind set di seluruh dunia sudah hampir sepakat dalam hal itu.
“Pada kenyataannya, perempuan yang memilih perempuan caleg hanya 18 persen dari seluruh pemilih di Indonesia, menurut pusat kajian UI. Bayangkan, orang mau teriak-teriak ‘Pilih perempuan!’, juga nggak ada gunanya. Bahkan perempuan sendiri belum yakin dengan perempuan caleg, gitu lho! Bisa dibayangkan, kan, sulitnya?” ujar Ledia sambil terkekeh.
Pendidikan politik bisa disebarkan pada masyarakat melalui media massa. Namun, terkadang bahasa media massa cetak terlalu tinggi untuk masyarakat kalangan bawah di Indonesia. Ledia menyangsikan bahwa kebanyakan perempuan membaca koran. Hanya orang-orang kota yang membaca koran, sedangkan orang-orang di pedesaan masih mengandalkan radio. Justru masyarakat pedesaanlah yang harus dicermati lebih dalam. Sekali lagi, Ledia menyangsikan bahwa edukasi dari koran akan mampu menembus masyarakat pada level itu karena pengelola media massa cetak adalah orang yang dibesarkan di lingkup perkotaan, yang belum tentu mengerti pola pikir masyarakat pedesaan.

“Dalam penyaluran pendidikan politik, tidak penting apakah menteri dan presidennya itu perempuan atau tidak. Kalau rakyat tidak mengerti, sama saja. Yang penting perempuan, ibu-ibu di luar sana mengerti. Yang paling sering dibohongi kan ibu-ibu. Kita harus memperjuangkan agar perempuan mengerti hak mereka sebagai warga negara,” papar perempuan yang pernah menjabat sebagai Ketua Pemberdayaan Perempuan di PKS itu.

Leave a comment